Bojonegoro
adalah kota penghasil minyak yang menyumbang 26% pedapatan negara di sektor
migas. Yang seharusnya hidup gemah ripah loh jinawi. Namun pada saat ini
Kabupaten Bojonegoro sedang dilanda krisis keuangan akibat harus mengembalikan
dana lebih salur DBH Migas sebesar Rp. 500 Miliar. Seperti kita ketahui bersama
bahwa Bupati Bojonegoro Suyoto atau akrab dipanggil "Kang Yoto" telah
mengirimkan surat permohonan keringanan agar diberikan waktu cukup panjang untuk
pengembalian lebih salur DBH Migas kepada Presiden Jokowi. Begitu juga dengan
DPRD Kabupaten Bojonegoro juga meminta agar lebih salur diputihkan saja. Namun
balasan surat tersebut terasa menyesakkan dada masyarakat Bojonegoro. Betapa
tidak, untuk mengembalikan lebih salur
dana bagi hasil minyak dan Gas (DBH Migas) tahun 2014 dan 2015, hanya diberi
waktu 3 (tiga) tahun saja.
Lebih
salur diakibatkan anggaran yang berdasarkan asumsi harga minyak dunia yang
ditetapkan lebih tinggi dibanding dengan harga minyak saat ini. sedangkan DBH
yang sudah ditransfer pada 2014 dan 2015 sudah habis untuk membangun. namun
selisih dana yang terjadi harus tetap dikembalikan ke pusat. hal ini jelas
menyusahkan Bojonegoro sebagai daerah penghasil Migas. Sebab akan mengalami
ketidakpastian anggaran.
Menurut
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bojonegoro Ibnu
Soeyoeti, teknis pengembaliannya melalui pemotongan transfer DBH migas yang
biasanya dilakukan tiap triwulan.
sehingga DBH migas yang diperoleh nanti
tidak akan utuh, karena sudah dikurangi dulu dengan potongan pengembalian.
Kepastian tersebut diperoleh setelah mendapat jawaban dari Kementerian
Keuangan. artinya setiap tahun DBH migas untuk Bojonegoro dipotong sekitar Rp.
270 Miliar.
Dampak
pengembalian lebih salur DBH Migas dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, antara
lain:
1. APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) Bojonegoro
Dapat
dipastikan jumlah APBD nanti lebih kecil dibanding APBD tahun-tahun sebelumnya.
Tahun ini APBD Bojonegoro sebesar Rp 3 Triliun lebih dan masih akan terus
dipangkas. Sebab pendapatan terbesar adalah dari DAU dan DBH Migas. Karena
pemotongan anggaran ini tidak bisa dihindari, maka program-program prioritas
yang harus didahulukan. Terutama bidang Pendidikan dan Kesehatan. Kebutuhan
belanja wajib seperti gaji,listrik, air, telepon, dan makan minum pasien harus
dihitung kembali. Pemkab dipastikan akan mengurangi kegiatan-kegiatan yang
sudah direncanakan. dampak lainnya tersendatnya Alokasi Dana Desa (ADD) untuk
desa-desa di Bojonegoro.
2. OPD (Organisasi Perangkat
Daerah)
Pemotongan
anggaran untuk seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Dari 74 OPD yang ada,
sebanyak 57 OPD anggarannya dipangkas minimal 25% dan maksimal 31 persen. sedangkan 17 OPD
dipotong di bawah 25%. Bahkan ada juga
yang tanpa dipotong. OPD harus menghitung ulang anggarannya dan jumlah kegiatan
yang akan dilakukan. Semua kegiatan yang sudah direncanakan harus ditata ulang.
yang mana membuat Kepala Dinas/Badan dan staf di bawahnya kelimpungan menyusun
ulang anggaran lagi dan menentukan skala prioritas. OPD harus benar-benar
mengencangkan ikat pinggang. Perencanaan kegiatan dan anggaran harus taktis,
efektif, dan efisien. Sebab tiga tahun kedepan Bojonegoro akan kehilangan
ratusan miliar rupiah akibat pengembalian lebih salur dana bagi hasil (DBH)
Migas dan pengurangan DAU sekitar 3-4 %.
Pada
Dinas Perdagangan sendiri tempat penulis bekerja. Anggaran yang sudah minim
untuk ukuran sebuah dinas yaitu sebesar Rp. 1.064.248.939 harus dipangkas 25%
sehingga menjadi Rp. 798.158.324. Namun kami masih harus ditutut untuk
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Seperti pengadaan pasar murah,
pasar lelang, pengelolaan Wisata Bintang Kelap-Kelip, Pengelolaan sentra produk
taman rajekwesi yang kesemuanya harus tetap berjalan. Padahal dananya tidak
ada, jadi kami harus memutar otak untuk mendapatkan sumber dana lain di luar
APBD.
3.Rakyat Bojonegoro
Dengan
hanya diberi jangka waktu tiga tahun pengembalian lebih salur DBH Migas, akan
membuat rakyat Bojonegoro menjerit. Bagaimana tidak? pembangunan jelas akan
terganggu. Rakyat juga yang akan menanggungg akibatnya. Perekonomian Bojonegoro
akan tersendat. Pembangunan gedung sekolah rawan ambruk terpending, begitu juga
fasilitas rumah sakit, fasilitas keamanan jalan (ex: palang pintu kereta api, traffic light), dan fasilitas umum lainnya. Bantuan bea siswa untuk anak sekolah
yang semula ditetapkan Rp. 2 juta per anak juga sudah dikurangi. Gagalnya
pembangunan dry port (dermaga darat) dan proyek-proyek vital lainnya. Ooh....
Nasib Bojonegoroku si penghasil minyak.